Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal
(bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini terbuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi
disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang
bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar
maupun kecil.
Berikut adalah tiga jenis angklung:
Angklung Kanekes
Angklung ini berada di
daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy), digunakan terutama karena hubungannya dengan
ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan
atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung
ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama
di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di
Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus
padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa
ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi.
Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan,
dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau
kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan
dengan Jakarta, Bogor,
dan Lebak).
Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining,
kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk
menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare
(mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).Dalam
mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami
musim paceklik (masa gagal panen).